basabasi dulu ya..
well, cerpen ini yang bawa gue nyampe ke perlombaan tingkat provinsi, padahal yang gue tau cerpen ini terlalu formal, terlalu baku, gaada gregetnya gak berkesan, dan gue bikin cerpennya pun antara niat sama gak niat, gimana mau full niatnya kalau hari ini dikasih tau eh lusa udah lomba aja.. kurangasem juga sih gurunya, tapi gue bersyukur deh gara-gara cerpen ini gue ngerasain dinginnya kota lembang nyampe sakit garagara gak terbiasa, dan gue juga jadi punya pengalaman menjelajah mistis sama kawan-kawan baru sesama perwakilan, loh kok mistis? so'alnya hotel yg gue tempatin itu ada sejak jaman belanda loooh, halaman belakangnya lebih mirip rumahsakit yang gak terpakai, nama hotelnya G**** hotel, uuups, paskibra itu NO MERK B-)
let's read ya...
Perlahan
aku berjalan menyusuri jalan setapak ini, aroma tanah yang khas dan tetesan air
di ranting pohon menemani derap kakiku, aku tersenyum kala aku melihat sebuah
bangunan yang tersusun dari deretan kelas. Sekolahku, ya, itu sekolahku, tempat
dimana aku mencari ilmu. Seperti biasanya, aku pergi ke sekolah mengenakan
seragamku, namun kali ini ada yang berbeda, aku tidak lagi memakai seragam
merah putihku, hari ini aku memakai seragam putih biru, hari ini adalah hari
pertama aku masuk SMP, lebih tepatnya, hari ini adalah hari pertama aku
melaksanakan MOS, hari dimana beradunya keceriaan dan memalukan. Mengapa aku
bilang memalukan? Karena seragam yang aku pakai. Ya, seragamku lebih mirip
seragam badut penghibur di hari ulang tahun. Rambutku dikepang sepuluh, memakai
sepatu dari kantung kresek, tas dari karung beras, dan leherku dikalungi tanda
pengenal yang terbuat dari kertas kardus, dan memakai make up yang super tebal.
tapi memang itu ketentuannya, jadi apapun harus aku lakukan.
“Hai...
kamu anak baru, ya?” Tanya seseorang kepadaku. Aku kaget saat mendengarnya,
karena tiba-tiba dia muncul dari arah belakangku.
“Iya…
kamu siapa?” tanyaku kepada orang itu.
“Aku
juga anak baru di sini, namaku Rio, Mario Stevano, nama kamu siapa?” Tanyanya
padaku.
“Namaku
Ashilla, kamu bisa panggil aku Shilla. Ya, itulah namaku, Ashilla Zahrantiara”.
“Mau
ke kelas? Oya, kelas kamu di mana?” Tanyanya ramah kepadaku.
“Iya,
aku mau ke kelas, kelas 7A”, jawabku seraya tersenyum.
“Bareng
ya? Kebetulan kita sekelas”. Tawarnya ramah.
“Ok”,
jawab ku singkat.
Awal
yang baik untuk memulai perjalananku mencari ilmu di sekolah ini. Baru saja aku
melangkahkan kaki menuju kelasku, aku sudah mendapatkan sahabat, tapi apa bisa
aku menyebut dia sahabat? Tidak! Segala sesuatu tentangnya pun aku tidak tahu.
Tapi paling tidak, aku sudah mendapatkan teman sekedar untuk
berbincang-bincang.
……………………………………………………………………………………………………………………
Hari
demi hari aku jalani dengan penuh semangat, tak terasa, kegiatan MOS telah usai,
dan aku sudah bisa menyebut Rio sebagai sahabatku, karena dalam waktu seminggu
ini, aku sering bertukar informasi dengan dirinya, mulai dari nama lengkapnya,
cita-citanya, kegemarannya, dan semua kebiasaannya. Dan ternyata hampir semua
kegemarannya sama denganku, salah satunya adalah menari. Tetapi aku pikir, Rio
menyukai tarian yang sama denganku, tapi ternyata tidak.
Di
kelas 7A
Ibu
Ira sedang menerangkan tentang kebudayaan Indonesia, semua murid nampak
bermalas-malasan, sebagian tertidur, dan sebagian lainnya sibuk dengan
kegiatannya masing-masing, sepertinya, hanya aku saja yang tetap fokus pada
pelajaran, mengapa mereka menghiraukan pelajaran berharga seperti ini? Mereka
orang Indonesia! Tetapi tidak peduli dengan kebudayaannya.
Apa
mereka tidak mau menghargai para ahli seni? Para ahli seni yang telah
menciptakan kebudayaan negeri ini, yang menjadikan suatu ciri yang membedakan
negeri ini dan negeri yang lainnya, dan juga menjadi suatu hal yang patut
dibanggakan.
Hari
ini kelasku ada ulangan praktik menari, guruku mengatakan, kalau kita bebas
memilih tarian yang akan dipraktikan.
Di
ruang tes praktik.
“Rio,
kenapa kamu tidak memilih tarian tradisional saja? Lagi pula, apa salahnya kamu
menarikan tarian tradisional? seperti aku, saat tes nanti, aku akan menarikan
tarian jaipong” ucap ku kepada Rio yang sedang asyik belajar breakdance.
“Hah!
Tarian tradisional? Ini tahun 2011 Ashilla. Masa sih kamu mau diem terus di era
jadul kayak gitu sih?” Tanya Rio kepadaku seraya memasang tatapan sinis padaku.
“Memangnya di tahun 2011 ini ada peraturan
dilarang menari tarian tradisional? Gak kan? Dan satu yang harus kamu ingat,
tarian tradisional adalah salah satu ragam budaya di negeri kita, apa kamu masih
mencintai negerimu ini? atau kamu lebih memilih budaya luar negeri yang
jelas-jelas bukan budaya negeri kita?” Tanyaku kepada Rio, tak lupa, akupun
memasang tatapan sinis kepada Rio.
“Memang, di tahun 2011 ini tidak ada
peraturan yang melarang menarikan tarian tradisional, tapi apa kamu tidak sadar
bahwa aku hanya mengikuti kebudayaan orang-orang di sekitarku”, jawabnya. Sekarang
dia sudah tak memasang tatapan sinis itu lagi.
“Ya, kamu mengikuti jalan yang salah,
mengikuti budaya asing dan meninggalkan budaya sendiri. Apakah itu yang patut
kamu tiru? Itu salah, Rio. Jika memang kamu ingin menjadi lebih modern, silakan,
kamu pelajari segala yang bersifat modern, tapi tolong jangan lupakan tarian
dan kebudayaan negerimu sendiri”. Nasehatku kepada Rio.
“Bukan Cuma aku saja kan yang melupakan
budaya negeriku sendiri? Lihat saja di pusat kota sana. Apakah mereka masih
sering memainkan tarian khas daerahnya? Tidak! Mereka lebih sering memainkan
tarian luar negeri, seperti breakdance yang aku mainkan tadi”, ucapnya padaku.
“Tapi Rio, paling tidak kamu akan menambah
populasi orang yang mau melestarikan budaya kita, bukannya menambah populasi
orang yang mau mengembangkan budaya asing di negeri kita”, ucapku sambil
berlalu meninggalkannya di tempat itu.
Apakah salah jika aku mengingatkan Rio
tentang pentingnya melestarikan budaya negeri kita? Sepertinya tidak! Tapi
mengapa Rio seperti tidak suka dengan perkataanku? Apa memang dia tidak suka
budaya Indonesia? Masa iya? Dia kan orang Indonesia. Aku bertanya-tanya di
dalam hati, sepertinya pikiranku mulai dipenuhi tanda tanya.
Tes praktik sudah selesai, semua berjalan
lancar, aku hanya tinggal menunggu nilai praktikku diumumkan.
Saat yang kutunggu telah tiba, Bu Ira datang
menghampiriku, dan mengucapkan selamat, entah selamat dalam rangka apa, yang
jelas, Bu Ira hanya mengucapkan sepatah kata “Selamat”.
“Selamat”, ucap Bu Ira kepadaku, aku terdiam
sejenak.
“Selamat untuk apa?” Tanyaku heran.
“Selamat karena kamu mendapatkan nilai
tertinggi di dalam tes praktik tadi”. Akhirnya Bu Ira menjelaskan untuk apa
ucapan selamat itu.
“Bu, Mengapa harus dia yang mendapatkan nilai
tertinggi? Mengapa bukan aku? Aku sudah menarikan tarian modern, tarian yang
sudah terkenal di seluruh dunia, mengapa harus dia yang mendapatkan nilai
tertinggi? Padahal dia hanya menarikan tarian tempo dulu yang sudah hilang
ditelan masa” ucap salah seorang yang sudah tak asing bagiku, dia Rio. Rio
tiba-tiba protes kepada Bu Ira karena akulah yang mendapatkan nilai tertinggi,
bukan dirinya.
Rio, sepertinya kamu tidak suka jika aku yang
mendapatkan nilai tertinggi itu, tapi ini salah kamu, mengapa kamu tidak
menghargai tarian dari negerimu sendiri? Tarian yang telah diciptakan
orang-orang yang ahli di bidang seni, gerutuku dalam hati.
“Rio, Ibu tidak menilai tarian dari
ketenarannya.. melainkan dari nilai positifnya, lihat Ashilla, dia menarikan
salah satu tarian tradisional negara kita, jaipong, dengan begitu, Ashilla
telah membantu pelestarian budaya negara kita agar tidak punah ditelan masa”, terang Bu Ira.
“Benar Rio, semua yang Bu Ira katakan memang
benar, seperti yang tadi aku katakan, apa kamu masih belum sadar tentang
pentingnya melestarikan kebudayaan negeri kita? Kapan Rio? Kapan kamu bisa
menyadari itu?”. Ucapku kepada Rio.
“Tapi menurutku lebih bagus tarian modern,
seperti breakdance, gak seperti tarian jaipong, membosankan”, ucap Rio.
“Tapi Rio, seandainya, budaya kita dicuri
Negara lain, dan Negara tersebut mengklaim budaya kita sebagai budayanya, apa
kamu rela?” Tanyaku pada Rio.
“Dan apa kamu akan membiarkan semua itu
terjadi?” ucapku kembali.
Sejenak Rio tampak berpikir.
“Arrghh.. iya iya..”, gerutu Rio.
“Iya, sepertinya sekarang aku mulai sadar,
aku sadar, aku terlalu membanggakan budaya asing dan melupakan budaya sendiri,
ternyata budaya kita itu bukan hanya sekedar ciri khas negeri kita, tetapi juga
menjadi suatu hal yang patut untuk dibanggakan”. Ucap Rio dengan nada lirih.
“Syukurlah Yo, kamu sudah sadar akan hal itu,
tapi, apa kamu akan tetap menganggap tarian tradisional itu budaya yang hampir
punah ditelan masa? Budaya di era jadul?” Tanyaku bertubi-tubi kepada Rio.
“Sepertinya, aku akan menarik kembali
ucapanku itu, dan ucapanku itu akan kuganti, budaya tradisional itu budaya yang
gak boleh punah, dan budaya tradisional adalah budaya yang tetap ada meskipun
di era modern”, ucap Rio.
Syukurah, Rio sudah sadar, kalau ternyata
budaya negara kita sangat berharga, dan lebih berharga dari pada budaya asing
yang masuk ke Indonesia, budaya yang menjarah semua perhatian rakyat, dan
merampas perhatian seluruh orang yang mau melestarikan budaya kita.
“Tapi Rio, kayaknya ada yang kurang deh. O ya,
kayaknya belum komplit deh kalau kamu belum menarikan tarian tradisional”,
tawarku pada Rio.
“Oke, oke. Aku akan menarikan tari kecak dari
Bali”, ucap Rio.
Sepertinya Rio sudah mulai menghargai budaya
Indonesia, dan aku harap, bukan hanya Rio yang berubah, melainkan semua orang
Indonesia yang sudah tidak peduli dengan
kebudayaannya, aku ingin semua orang Indonesia
sadar dan aku ingin semua orang Indonesia ikut berperan dalam menjaga
dan melestarikan budaya negeri pertiwi ini, hargailah jeripayah para ahli seni
yang menciptakan semua itu, yang telah merangkai serpihan-serpihan ide menjadi
sebuah karya seni yang diagung-agungkan. Ucapku dalam hati.